Senin, 15 Oktober 2012

Soal Mendidik Anak, Kita Harus Berguru Pada Siti Hajar

Hijir Ismail; menjadi bagian dari Ka'bah. Tidak sah thawaf jika tidak
mengelilingi keduanya.
Bulan Zulhijjah adalah saat yang tepat bagi kita, khususnya para orang tua dan guru, untuk belajar kepada Siti Hajar. Ibunda Ismail dan isteri dari nabi Ibrahim ini.

Menurut buku Qishash al Anbiya karangan Ibnu Katsir, Hajar adalah seorang putri raja Maghreb, leluhur dari para nabi-nabi dalam Islam. Ayahnya dibunuh oleh Firaun yang bernama Dhu l-'arsh, dan ia ditawan dan dijadikan budak. Karena ia masih golongan bangsawan, maka ia akan dijadikan selir dan bisa memasuki kemakmuran Firaun. Namun kemudian Firaun memberikan Hajar kepada Sarah  -- perempuan yang sebelumnya juga gagal dijadikan selir oleh Fir'aun -- untuk dijadikan sebagai budaknya. Hajar berasal dari kata Ha ajruka (Bahasa Arab untuk "inilah imbalan mu").

Apa yang harus kita pelajari dari Siti Hajar? Jawabannya singkat, pola asuh dan cara mendidik anak yang mampu menghasilkan anak berkualitas seperti ismail. Hajar bukanlah orang yang berpendidikan tinggi seperti para orang tua dan guru di zaman sekarang. Dia tidak mengenal teori perkembangan anak, model-model pembelajaran, ragam jenis kecerdasan, multiple intelligences, dan berbagai teori canggih pendidikan lainnya. Tapi di tangannya lahir seorang Ismail, anak yang soleh, taat kepada Allah, berbakti kepada orang tua, berakhlak mulia, cerdas dan rela berkorban.

Tidak banyak informasi yang kita ketahui, model pendidikan seperti apa yang dilakukan oleh Siti Hajar terhadap Ismail. Yang kita tahu, ia dan Ismail kecil, diungsikan oleh Nabi Ibrahim ke sebuah tempat asing yang belum pernah dikenalnya. Sebuah tempat yang kering dan tandus. Tanpa air tanpa pepohonan. Di dekat "Rumah Allah" yang disucikan di Jazirah Arabia. Di sanalah ia ditinggalkan. Sendirian. Bersama Ismail, anak yang belum lama ia lahirkan.

Namun dari do'a yang yang terus-menerus dikumandangkan Nabi Ibrahim as sambil bercucuran air mata, ketika meninggalkan kedua orang yang dicintainya, di lembah tandus tersebut, kita bisa "meraba" model pendidikan apa yang dilakukan Siti Hajar terhadap Ismail. Teks do'a tersebut tercantum dalam Q.s. Ibrahim [14]:37, yang artinya :

Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.

Dari do'a Nabi Ibrahim as di atas, menunjukkan empat cara yang ditempuh keduanya dalam mendidik anak yang cerdas dan soleh.
1.  'Inda baitikal muharram. Ditempatkan di lingkungan (bi'ah) yang baik. Lingkungan yang kental dengan nilai-nilai spiritual. Lingkungan yang selalu mendekatkan anak kepada Penciptanya. 
2.  Liyuqiimush-sholah. Kurikulum pertama adalah mengenalkan Allah dan membangun ketaatan kepada-Nya. Ketaatannya kepada Allah secara luar biasa dia tunjukkan ketika dengan gagah berani menyambut perintah penyembelihan dirinya oleh Nabi Ibrahim as. Kemampuan seperti ini disebut Danah Zohar sebagai Spiritual Intelligence.
3.  Faj'al af'idatan minan-naasi tahwii ilaihim.  Kurikulum kedua adalah membentuk pribadi yang disukai dan disayangi oleh sesama. Pribadi yang disukai oleh sesama adalah pribadi yang berakhlak mulia. Ismail sangat menghormati dan memuliakan orang tuanya, memegang teguh norma-norma yang baik yang berlaku di masyarakat, dan peduli kepada nasib masyarakat di sekitarnya. Oleh Daniel Goleman, kompetensi seperti ini disebut Emotional Intelligence.
4. La'allahum yasykurun. yang berikutnya adalah membentuk mereka menjadi pribadi yang pandai mensyukuri nikmat. Syukur maknanya mengoptimalkan semua nikmat -- walau kelihatannya kecil -- menjadi sesuatu yang berdayaguna tinggi. Menjadi orang bersyukur maknanya menjadi pribadi-pribadi berpikir positif, produktif, dan kontributif. Ketiga sifat ini dicontohkan langsung oleh Siti Hajar saat harus mencari air untuk menyambung hidup. Berbaik sangka kepada Allah yang tidak akan menyia-nyiakan ketaatan hambanya. Berlari kesana kemari mencari air. Dan saat air memancar ia pun berteriak "Zam zam !" Kumpul, kumpul, kemari... di sini ada air! Ia berbagai kenikmatan itu kepada sesama. Para ahli menyebut kecerdasan seperti ini sebagai Adversity Quotions

Inilah empat hal yang bisa kita tiru dari cara Siti Hajar dan Nabi Ibrahim dalam mendidik dan membesarkan Ismail. Yakni menyiapkan bi'ah (lingkungan) yang baik untuk tumbuh kembang anak-anak kita. Berikutnya buatlah kurikulum dan langkah-langkah strategis untuk pengembangan  secara seimbang kecerdasan spiritual, emotional, intelektual dan kecerdasan adversitas (tahan banting) anak-anak kita.

Jika kita jadikan do'a Nabi Ibrahim as di atas sebagai landasan pendidikan anak-anak kita,  dunia pendidikan kita tidak akan diselimuti awan gelap seperti sekarang ini.